mahasiswa adalah makhluk vulnerable. dan salah satu yang membedakan di antara para orang tua adalah kebijaksanaannya.
seketika jadi teringat salah satu kuliah yang pernah saya ikuti, yang bertema tentang etika penelitian. di salah satu slidenya dibahas tentang kelompok-kelompok yang bersifat vulnerable, alias rentan. dan status saya yang masih mahasiswa ini rupanya masuk ke dalam kelompok tersebut. pada waktu itu, mendengar penjelasan dari bu dosen, saya dan kawan-kawan hanya tertawa karena bu dosen menjelaskannya dengan cara yang menarik. tapi kalo mengingat kejadian yang baru saya alami, yaaa gemas juga. jadi ga pengen tertawa. ha ha *ketawa garing*
alkisah, di sebuah gerbong kereta nomor 7 di sekitar lokasi tempat duduk saya di kursi nomor 2A, yang sedang transit di sebuah kota di jawa tengah. naiklah orang-orang yang memang akan melakukan perjalanan dengan kereta tersebut. waktu itu, kursi sebelah saya sedang kosong baru ditinggal turun penumpang sebelumnya. "yes, bisa selonjoran!", batin saya. baru menikmati selonjoran yang tidak kekal itu, tiba-tiba terdengar seorang bapak baru datang dan sedang, well, agak marah-marah, dengan penumpang lainnya yang juga baru datang. agaknya mereka sedang berebut kursi di belakang saya, yang entah kenapa sudah ada penghuninya. penghuninya adalah bocah laki-laki seukuran bocah SD, dan mungkin ibunya. entah salah dimananya, yang jelas pada akhirnya bapak itu memisahkan si bocah dengan si ibu dengan menyuruh si bocah duduk di kursi sebelah saya yang menjadi tempat selonjoran saya yang fana. yang saya pikirkan cuma, "lha ini seriusan anaknya dipisah sama ibunya? -_-" tapi tidak lama, si bapak menyuruh bocah itu kembali ke sang ibu. mungkin bapak ini sudah mendapatkan kembali akalnya? hanya tuhan yang tau. dan untungnya bapak-bapak lawan marah-marah bapak ini menanggapi dengan santai, meskipun dari suaranya kedengeran tegas. wajar sih, siapa yang mau dimarah-marahin seenaknya. apalagi kalo ga salah apa-apa.
lalu tadaaaaaaa, si bapak duduk di sebelah saya.
emmmmmmm.. *gigit bibir sekseh*
oke, harusnya sih ga masalah, sampai…………..
bapak: turun dimana mbak?
aku: purwokerto pak. *lalu kembali memandangi jalanan lewat jendela kereta*
bapak: kuliah dimana mbak?
aku: unsoed pak. *lalu kembali memandangi jalanan*
bapak: semester berapa?
aku: masih baru pak. hehe.
bapak: oh, semester 2.
aku: :) (meskipun ane disitu pake masker sih, buat antisipasi mangap involunter kala tertidur di kereta)
bapak: mbak, kalo misalnya bertukar tempat dengan istri saya. istri saya duduk di kursi nomer 6A.
aku: wah maaf, pak, saya gamau, soalnya saya nyari kursi yang dua-dua gini duduknya.
bapak: gimana, mbak?
aku: iyaa, kan kalo 6A itu bertiga duduknya, pak. maaf, saya gamau.
bapak: mmm. mbak kuliah fakultas apa?
aku: *tiiiiiit* *menyebutkan sebuah fakultas, lalu kembali memandangi jalanan*
bapak: ooo, saya juga ngajar di *tiiiiiiit* lho, mbak. *si bapak berusaha menunjukkan taringnya* *jangan dipikir dia nunjukin taring beneran, plis -_-*
aku: ooo, ya. *jawab sambil lalu, lalu kembali memandangi jalanan*
bapak: saya kenal lho dengan blablabla *menyebut sebuah nama*
aku: *mikir: sopo kui?* *lalu menjawab dengan sopan* wah siapa itu pak?
bapak: lho dekanmu to, masa kamu ga kenal?
aku: waduh, maap pak, engga. masih baru kan :) *lalu kembali memandangi jalanan*
bapak: saya juga kenal lho sama blablabla blablabla blablabla blablabla. *menyebut nama-nama lainnya yang kuduga adalah dosen kampus tiiiiiiiiiit*
bapak: saya kenal semua tuh, dosen-dosenmu to. pak ini pak itu, pak ini pak itu, saya kenal. *pasang muka-muka sok penting*
aku: hmmm, ya *makin ogah-ogahan jawab, lalu kembali memandangi jalanan*
bapak: saya boleh lihat kartu mahasiswa kamu? *mengeluarkan hawa-hawa mengancam*
aku: maaf pak, ngga bawa *langsung jawab, tanpa berusaha mencari. ktm ane emang ada 2, tapi dua-duanya juga ane tinggal di kosan :P ini ciyus*
bapak: kalo gitu saya mau lihat tiket kamu. coba sini lihat. *mulai ngegas*
aku: udah saya buang pak, tadi abis dicek langsung saya buang. *padahal sih tiketnya ada di saku celana*
bapak: kalo gitu kartu identitas yang lain sini. *berjuang teroooos bung!!!!*
aku: kalo saya gamau gimana pak?
bapak: yaudah, oke kalo gamau, kita ketemu di **s** *menyebut fakultas tempat saya mengaku sedang kuliah*
aku: OKE *kembali melanjutkan melihat pemandangan di luar*
bapak: *mulai berbicara lagi dengan nada sok kalem, berganti topik* kalo anda membantu saya, saya akan membantu anda ke depannya *mencoba menggunakan "status" dosennya*
aku: *bodo amaaaaat.. lho uwes to? ora sida ngenteni aku nang kampus?*
bapak: saya kan hanya meminta tolong pada anda…"
aku: *memotong kalimat bapak ini yang berusaha ganti taktik, sok sok kebapakan ra jelas, setelah taktik main kekuasaannya ga berhasil* TAPI CARANYA BUKAN DENGAN MENGANCAM SAYA, PAK.
bapak: lho saya tidak mengancam anda… saya kan cuma minta tolong sama anda.
aku: *ayolah, lu pikir gue bego -_-* hhhhh, YAH, sebaik-baiknya orang meminta tolong ya bukan dengan memaksa, apalagi mengancam. ya? *mau ga mau ane ikutan ngegas juga jadinya*
bapak: *mulai ngomong lagi, ganti taktik. ane kirain udah nyerah dia* coba mbak bayangkan, mbak sebagai seorang istri, terpisah dengan suami di kereta, sementara bertukar tempat duduk di kereta adalah hal yang biasa. blablablablablabla.
aku: *ah taik, kuping ane panas. gile ye nih orang ceramah terus* HAAH. SUDAH SUDAH, SAYA PINDAH SAJA. DARIPADA PERJALANAN SAYA TERGANGGU, YA. OKE? SAYA PINDAH. *berkemas-kemas, sambil berbicara agak keras, berusaha mengalahkan kerasnya suara kereta, sekaligus biar bapak itu bisa dengar baik-baik, mbok ternyata alasan dibalik dia tetap ngeyel adalah karena dia tidak dengar suara saya ketika menolak tawarannya, kan*
bapak: *diam terpaku*
aku: *sambil berdiri, masih dengan suara agak keras* ASAL BAPAK TAU, YA, SEBAGAI ORANG TUA DAN DOSEN, BAPAK ITU MEMALUKAN!! PERMISI!! *mau asal melangkah, biar nyenggol kaki bapak itu sekalian aja, tapi kok ada kaki adek-adek abg di depan bapak ini yang sedang tidur, kan kasian kalo jadi kebangun gara-gara kesenggol*
saya bergerak melewati barisan kursi nomer 6, tidak menghampiri istri bapak itu. sengaja, biar bapak itu aja yang panggil istrinya. terus melangkah, mencari kursi kosong yang mungkin ada. kalopun ga ada, yaudah, ke gerbong makan aja. purwokerto sudah dekat inih.
lalu sesampainya di stasiun purwokerto, saya yang memang bergegas ingin segera sampai di kos, kembali berpapasan dengan bapak itu di peron. kali ini dia bersama istrinya. bapak itu tentunya mengenali saya yang tadi kurang ajar sama dia di kereta, terlihat dari ekspresinya yang tiba-tiba kaku memandang saya yang kali ini sudah melepas masker. ekspresi yang kulemparkan juga tidak mau kalah. mungkin kalo bisa, mataku sudah melemparkan pisau-pisau ke arah yang kulihat kala itu. yaaa semoga dia menerjemahkannya seperti itu juga. maklum, suka sebel sama mata ini yang sering terlihat sayu, padahal kan niatnya memberikan tatapan tajam. ceilaah.
hhhh, lelah adek bang.
di awal percakapan sebenernya udah mau tanya nama bapak ini. biar bisa ditelusuri dia beneran dosen *tiiiiiiit* apa bukan. tapi berhubung aku menolak memberikan identitasku, tidak adil kalo malah aku menanyakan namanya.
okay, i'm gonna be honest, kalo dia memang dosenku, aku mungkin malah akan menawarkan untuk bertukar tempat duduk. bukan karena iming-iming "akan dibantu di masa depan", tapi karena itu sebagai balas budiku karena beliau sudah memberikan sebagian dari ilmunya. ga perlu main kekuasaan atau jabatan kok buat dihargai. menurutku sih. kecuali kalo lebih suka sama yang fake. atau sukanya fake taxi?
dan kalopun aku adalah seorang istri yang terpisah tempat duduk dengan mas suami, kalo emang orang yang diajak tuker gamau, yaudah, masa mau dipaksa? karena aku gamau dipaksa pindah tempat duduk begini, ya ga mungkin kan aku memaksa orang lain juga? kecuali memang orang yang diajak tuker berbaik hati. yaah sayangnya bapak ini tidak bertemu dengan orang baik hati. sorry, not sorry.
dan dengan bertingkah berusaha mengancam aku seperti itu, haduuuh, nilai bapak ini bener-bener jatuh di mataku. sudah awalnya marah-marah ga jelas, ngusir bocah, sekarang ngancem ane -_- hhhhhh. orang tua bisa jadi hanyalah orang tua. yang bikin dia bernilai, menurutku salah satunya adalah kebijaksanaan. mungkin bapak ini sebenarnya adalah abg yang pake kostum bapak-bapak? lagi-lagi hanya tuhan yang tau.
mungkin aku bakal dihujat karena bertingkah tidak sopan karena ga mau ngalah sama wong tuwo. tapi disini aku mau perjuangin hak ku. adalah hak ku untuk duduk di kursi yang sudah tertera di tiketku, yang sudah kubayar juga dengan lunas, terlebih lagi, aku sendiri yang scroll scroll layar hape, cari tempat yang kosong, waktu pesen tiket kereta ini. adalah hak ku untuk mendapatkan perjalanan tenang. adalah hak ku untuk tidak direcoki bapak-bapak ini. dan adalah hak ku untuk tidak mendengar hujatan yang mungkin datang :) orang berhak untuk ngomong, dan aku berhak untuk tidak dengar. hahahahaha.
syukurlah setelah pindah kursi, bahkan pindah gerbong sekalian, aku dapat tempat duduk yang jauh lebih nyaman dan lebih adem. fiuh.
btw menurut mas erwin, tidak logis kalo bapak itu harus sampai menyebutkan sejumlah nama-nama yang aku sama sekali ga ingat tadi. kalo memang dia dosen di *tiiiiiiit* ngapain dia harus sampe nyebuti-nyebutin nama itu. kalo memang dia teman sekantornya, masa pada ga saling kenal, kan? dia mungkin memang kenal dengan dosen-dosen itu, tapi belum tentu dia dosen disana kalo cara dia mengenalkan dirinya begitu. menurut mas erwin, dia hanya oknum yang mengaku-ngaku. bener juga kalo dipikir-pikir.
dan seketika aku langsung kesel sama diri sendiri setelah mendengar pandangan mas erwin itu. merasa balasanku tadi kurang telak ke bapak itu. haha.
hhhhh sudahlah, jangan ketemu saya lagi, ya, pak.
PS:
kenapa aku "ngeles" tidak mau menunjukkan identitasku pada bapak ini? karena aku merasa bapak ini tidak punya kepentingan untuk tau identitasku sama sekali.
PS:
kenapa aku "ngeles" tidak mau menunjukkan identitasku pada bapak ini? karena aku merasa bapak ini tidak punya kepentingan untuk tau identitasku sama sekali.
Komentar
Posting Komentar